Pages

Kamis, 27 Februari 2014

Hiasi Akhlak dengan Kelembutan (Al-Hilm)

Seringkali kita terpancing emosi terutama pada keadaan-keadaan yang dapat memancing amarah. Bila seseorang dapat menahan emosinya, sewaktu akal pikirannya lebih dominan daripada emosinya, ketika itulah dia memiliki sifat al-hilm.

Pada dasarnya semua manusia memiliki amarah. Hanya saja, kemampuan manusia dalam menahan amarah berbeda-beda. Oleh karenanya, untuk memiliki sifat al-hilm ini butuh pada latihan jiwa dan usaha yang gigih untuk mendapatkannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنما العلم بالتعلم والحلم بالتحلم

”Ilmu itu diperoleh hanya dengan belajar dan sifat al-hilm hanya diperoleh dengan cara berusaha.”
(Diriwayatkan oleh Al-Khathib, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Sifat al-hilm (kelembutan) hanya dimiliki oleh orang yang memenuhi dua syarat:

kemampuan akal yang luas, dan
kebesaran jiwa.
Kemampuan akal yang luas menjadikan manusia berpandangan jauh ke depan. Sebelum mengaplikasikan perbuatan, ia menimbang terlebih dahulu maslahat dan mudharat yang akan ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Sedangkan kebesaran jiwa mampu menahan emosinya ketika ia ingin melampiaskan amarahnya kepada orang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada salah seorang shahabatnya,

إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ

”Sesungguhnya kamu mempunyai dua akhlak yang sangat dicintai Allah dan Rasul-Nya, yaitu sifat al-hilm (mampu menahan emosi) dan al-anah (sikap tenang dan tidak tergesa-gesa).”
(HR.Muslim)

Ketika seseorang mampu menahan amarahnya, maka ia diberikan keburuntungan yang besar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu ia akan terhindar dari akibat buruk amarahnya, dia akan terhindar dari godaan setan untuk mempermainkan dirinya, bahkan Allah akan beri cahaya dalam pemikirannya sehingga ia bisa menimbang segala sesuatu dengan adil dan bijak.

Pernah suatu ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang adil dan bijak, masuk ke dalam masjid dalam kegelapan. Rupanya Umar melewati seorang laki-laki yang sedang tidur di masjid itu. Tidak sengaja beliau menginjak salah satu bagian dari tubuh orang itu.

Spontan orang itu berdiri lalu berkata, “Apakah kamu sudah gila?”

Maka pengawal Umar hendak memukul orang itu. Namun Umar berkata, “Jangan! Dia tadi hanya bertanya kepadaku, apakah aku sudah gila? Dan aku menjawab, ‘Tidak.’”

Masya Allah, begitu indah sifat al-hilm yang menghiasi akhlak Khalifah Umar bin Abdul aziz. Beliau lebih memilih untuk bersikap bijak dan tidak tergesa-gesa, padahal beliau berkedudukan sebagai khalifah pada masa itu. Secara logika, bisa saja beliau memerintahkan pengawalnya untuk menghukum laki-laki itu.

Demikian penjelasan ringkas mengenai sifat al-hilm. Semoga bermanfaat. Wa shallallahu wa sallamu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa ‘ala alihi wa ashabihi wat tabi’ina lahum bi ihsanin ila yaumiddin.

Referensi:

Mukhtashar Minhajul Qashidin, karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
Rekaman ceramah “Sifat Al-Hilm : Menahan dari Amarah” oleh Al-Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc.


Penyusun: Dwi Pertiwi (Ummu Maryam)
Muroja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Artikel www.muslimah.or.id
Sumber : http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/hiasi-akhlak-dengan-kelembutan-al-hilm.html/comment-page-1#comment-26853

Rabu, 26 Februari 2014

Shafiyah binti Huyay, Ummul Mukminin yang Cerdas

Shafiyah adalah putri Huyay bin Akhthab, pemimpin suku Yahudi Khaibar. Huyay memerangi dan menampakkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dia tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan nabi akhir zaman, sebagaimana termaktub dalam kitab Taurat.
Pasukan kaum muslim berhasil mengalahkan benteng pertahanan terakhir suku Yahudi di Khaibar. Huyay bin Akhthab mati terbunuh dalam peperangan itu. Sementara putrinya, Shafiyah, tertangkap dan menjadi salah satu tahanan perang. Shafiyah adalah anak kesayangan bapaknya dan pamannya, sebagaimana dituturkan oleh Shafiyah sendiri, yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq.
“Saya adalah anak kesayangan bapak saya dan paman saya, Abu Yasir. Ketika Rasulullah datang di Yatsrib, beliau turun di Quba’ di kediaman Amru bin Auf. Maka Bapak saya, Huyay bin Akhthab, dan paman saya, Abu Yasir pergi di pagi hari, akan tetapi mereka berdua belum pulang meski matahari sudah kembali ke peraduannya. Tidak lama kemudian, mereka datang dalam kondisi lelah, malas, dan lemas. Mereka berdua berjalan dengan gontai. Saya menyambut mereka dengan ceria, seperti biasanya. Tapi, demi Allah, tidak seorang pun diantara mereka berdua yang menoleh ke saya, ditambah lagi mereka berdua tampak sedih. Tiba-tiba saya mendengar paman saya, Abu Yasir, berkata kepada bapak saya, Huyay bin Akhthab,
“Apakah itu orangnya?”
Ya, betul,” jawab ayah saya.
“Apa kamu mengenalnya?” tanya paman.
“Ya,” jawab ayah.
“Bagaimana pendapatmu tentang dia,” kata paman.
“Saya akan memusuhinya selama saya hidup,” kata ayah.
Setelah kejadian itu, Shafiyah mengetahui bahwa Rasulullah berada dalam jalan yang benar. Ternyata selama ini, kaumnya tidak memberitahukan tentang Nabi Muhammad kepada Shafiyah, karena faktor kedengkian dan iri hati, bukan karena Nabi Muhammad salah, setelah ada bukti yang nyata pada diri mereka bahwa Nabi Muhammad adalah utusan akhir zaman.
Setelah orang-orang Yahudi kalah, dan bentengnya di Khaibar jatuh ke tangan kaum muslim, Shafiyah menjadi salah satu tawanan perang. Dia masuk dalam bagian pendapatan perang seorang sahabat, Dahiyyah bin Khalifah. Kemudian ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, engkau memberikan bagian kepada Dahiyyah, Shafiyah binti Huyay, putri pemimpin Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, padahal Shafiyah hanya layak untuk engkau.”
Rasulullah bersabda, “Panggil Dahiyyah bersama Shafiyah.”
Dahiyyah datang membawa Shafiyah. Setelah Rasulullah melihat Shafiyah, beliau berkata kepada Dahiyyah, “Ambillah budak yang lain dari tahanan yang ada.”
Dahiyyah pergi tanpa membawa pulang Shafiyyah, dia memilih tahanan yang lain untuk dijadikan budak. Sementara Rasulullah mempunyai bagian harta perang, yang biasanya dikenal dengan istilah shafi (jarahan perang yang dipilih pemimpin untuk dirinya). Rasulullah bebas dalam memilih, apakah ingin memilih budak laki-laki, budak perempuan, atau kuda, selama belum melebihi seperlima.
Rasulullah memberikan pilihan kepada Shafiyah, apakah ingin dimerdekakan, kemudian akan dikembalikan kepada kaumnya yang masih hidup di Khaibar, ataukah ingin masuk Islam kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Shafiyah memilih untuk masuk Islam dan menikah dengan beliau, dengan maskawin kemerdekaannya.
Pada saat itu, Shafiyah berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya memeluk Islam dan saya sudah percaya kepadamu sebelum engkau mengajak saya. Saya sudah sampai pada perjalananmu. Saya tidak punya keperluan kepada orang-orang Yahudi. Saya sudah tidak mempunyai bapak, dan tidak mempunyai saudara yang merdeka. Lalu untuk apa saya kembali kepada kaumku?”
Ungkapan hati Shafiyah ini menunjukkan kebijaksanaan dan kecerdasannya. Shafiyah menjadi salah satu Ummul Mukminin dan itu merupakan kehormatan yang besar.
**
Ditulis ulang dari buku “Wanita-wanita Cerdas Sepanjang Masa” oleh Mansur Abdul Hakim, pustaka At-Tibyan, Solo.

Artikel Muslimah.Or.Id
Sumber : http://muslimah.or.id/kisah/shafiyah-binti-huyay-ummul-mukminin-yang-cerdas.html